Replika Pahalawan Revolusi

Mengenal para Pahlawan Revolusi

Kemerdekaan Republik Indonesia ini dilalui dengan penuh perjuangan yang hebat dari para pahlawan dan persatuan diantara rakyat yang menjadi kekuatan untuk memperoleh kemerdekaan negara Indonesia, banyak kejadian yang telah terjadi sesudah kemerdekaan Indonesia diantaranya Gerakan 30 September PKI (G30SPKI) yang menjadi Indonesia berduka setelah kejadian tersebut karena beberapa pahlawan yang gugur akibat kejadian tersebut, disini kita akan mengenal para pahlawan revolusi yang gugur di kejadian tersebut :


1. Jenderal Ahmad Yani Ahmad Yani adalah satu di antara 6 jenderal yang terbunuh pelatuk senapan PKI pada 1 Oktober 1965 dini hari di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat. Lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah, Ahmad Yani tutup usia di umur 43 tahun. Diberitakan Harian Kompas, 14 Agustus 2017, pemandu Museum Jenderal Ahmad Yani, Sersan Mayor Wawan Sutrisno, mengungkapkan pasukan yang datang menyergap masuk melalui pintu belakang dan membunuh Sang Jenderal saat itu juga. Semetara, yang lain ada yang bertugas menyekap pasukan penjaga rumah Ahmad Yani, ada juga yang bertugas mengepung rumah itu.

 2. Mayjen R Soeprapto Berdasarkan informasi dari laman Sejarah TNI, pada 30 September 1965, Soeprapto baru saja melakukan pencabutan gigi sehingga pada malam harinya merasa tidak nyaman dan tidak bisa tertidur. Di saat itu, Suprapto menyelesaikan lukisan yang niatnya akan diserahkan kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Sekitar pukul 04.30 pagi di keesokan harinya, rombongan penculik menghampiri rumahnya. Anjing menggonggong, Soeprapto pun bertanya siapa yang ada di luar. Rombongan di luar menjawab "Cakrabirawa", mengetahui hal itu tanpa rasa curiga apa pun Suprapto yang masih dalam keadaan mengenakan piyama dan sarung keluar menemui mereka. Pasukan itu mengatakan Suprapto diminta menemui Soekarno saat itu juga. Sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto mengiyakan. Namun, ia meminta izin untuk terlebih dulu berganti pakaian. Permintaannya tidak diizinkan, dan justru langsung menodong Suprapto dengan senjata dan sebagian memegang tangannya, sembari membawanya ke luar untuk dinaikkan ke atas truk yang sudah menunggu. Rupanya, Jenderal asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini dibawa ke Lubang Buaya. Di sana, ia dianiaya dalam keadaan tubuh terikat. Selanjutnya, jenazahnya dilemparkan begitu saja ke dalam lubang sumur yang sempit, yang juga menjadi lokasi pembuangan jasad korban penculikan yang lain. 

3. Mayjen MT Haryono Dari arsip Harian Kompas, 23 November 1965, mayat M.T. Haryono ditemukan di sumur Lubang Buaya, nomor dua dari bawah, di atas jenazah D.I Panjaitan. Sebelumnya, M.T Haryono yang dikenal sebagai penyayang anak ini diberondong peluru di kediamannya, saat mencoba melawan rombongan yang datang dan menculiknya. Sayangnya, jumlah lawan terlalu besar, banyak peluru yang akhirnya bersarang di tubuh Haryono. Ia pun ambrug dan diseret naik ke atas truk rombongan penculik. Diduga, ketika itu Haryono sudah dalam kondisi tidak bernyawa. Istrinya yang mengetahui kejadian ini segera mengunci anak-anaknya dalam kamar dan mengemudikan mobil sendiri ke kediaman Ahhmad Yani, dengan maksud melaporkan apa yang terjadi. Namun, di kediaman Ahmad Yani rupanya terlihat terjadi hal serupa. Tidak kehabisan akal, istri Haryono langsung balik arah ke kediaman S. Parman, namun sayang keadaan yang sama kembali ia temukan. 

4. Mayjen S. Parman S. Parman disergap pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB. Berdasarkan arsip Harian Kompas, 23 Oktober 1965, perwira yang pernah berjuang di peristiwa Madiun, APRA, D.I. Jawa Barat dan Jawa Tengah ini tidak menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan seragam Cakrabirawa. Rombongan itu mengatakan suasana di luar genting, bahkan mereka ikut masuk ke kamar tidur saat Parman berganti pakaian. Laki-laki bernama lengkap Siswondo Parman ini pun dibawa pergi. Saat itu, rumahnya tidak ada yang menjaga, hanya ada istri dan anaknya di sana. Penculikan itu berjalan dengan lancar. 

 5. Brigjend D.I. Panjaitan D.I. Panjaitan diculik pada 1 Oktober 1965 waktu subuh. Pasukan berseragam yang datang dengan menggunakan dua buah truk langsung mengepung rumah Panjaitan dari segala penjuru arah. Tapi, ia mengira pasukan itu ditugasi untuk menjemput dirinya agar bertemu dengan Soekarno. Panjaitan pun berpakaian rapi, resmi, lengkap dengan topi, layaknya akan pergi ke satu upacara. Namun tanpa diduga, pasukan itu justru menembaki barang-barang yang ada di rumahnya hingga hancur berserakan. Melihat kondisi seperti itu, Panjaitan yang merupakan seorang umat beragama yang taat menolak untuk menggunakan kekuatan para penjaga di rumahnya, meskipun sudah beberapa kali diperingatkan. Ia percaya hanya Tuhan yang akan melindungi dirinya. Akhirnya, ia turun dari kamarnya di lantai 2 dan menemui rombongan itu. Jenderal asal Tapanuli itu sempat melawan, sehingga ia ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan langsung dibawa pergi.

6. Brigjen Sutoyo Siswodiharjo Merujuk arsip Harian Kompas, 19 November 1965, penculikan Sutoyo terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi. Rombongan datang ke rumah Sutoyo dan mengamankan lokasi di sekitar jalan rumahnya, orang dilarang melintas dan hansip yang berjaga dibuat tidak berdaya. Pasukan yang masuk ke dalam rumah pun memaksa pembantu yang ada di sana untuk memberikan kunci agar bisa menemukan sasaran operasi, Sutoyo. Sutoyo dipanggil dan disebut diminta untuk menemui Soekarno di Istana Kepresidenan. Setelah memenuhi panggilan itu, Sutoyo pun diajak untuk naik ke truk, kendaraan yang digunakan rombongan penculik. Saat di atas truk itu, Sutoyo diikat tangannya dan ditutup matanya. Lalu, ia diturunkan di sebuah rumah dekat Lubang Buaya. Pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB, suara tembakan beberapa kali terdengar. Dan jenazah dari Sutoyo pun dimasukkan ke sumur dengan ditutup menggunakan sampah dan daun-daun. Baca juga: Tolak Bahas RUU HIP, Jokowi Tegaskan PKI Dilarang 

7. Lettu Pierre Andreas Tendean Sesungguhnya, Harian Kompas pada 9 Oktober 1965 menuliskan, laki-laki keturunan Perancis ini bukan sasaran para penculik. Namun Tendean saat 1 Oktober 1965 pagi tengah berada di rumah Jenderal A.H. Nasution, atasannya, yang merupakan target sesungguhnya. Saat rombongan itu datang dan bertanya kepada Tendean, apakah dia adalah A.H. Nasution, tanpa ragu Tendean menjawab, "Ya, saya lah Jenderal Nasution", meski ia tahu apa risikonya. Tindakan itu ia lakukan agar sang Jenderal bisa selamat. Dan benar, A.H. Nasution memang lolos dari penculikan. Padahal, Tendean sebenarnya bisa saja mengatakan yang sejujurnya dan terbebas dari kekejaman yang pada ujungnya menjadi akhir hidupnya. Baca juga: Hari Kesaktian Pancasila, Ini 3 Tempat Mengenang Kejadian G30S/PKI Dikutip dari Harian Kompas, 5 Oktober 1965, jenazah ketujuh perwira tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, bertepatan dengan HUT ke-20 ABRI. Namun, sebenarnya masih ada 3 orang lain yang juga turut dibunuh pada rentetan peristiwa G30S/PKI itu. Namun, jasad mereka tidak turut dibuang dalam sumur yang sama dengan ketujuh jasad perwira TNI tersebut. Ketiganya adalah Aipda K.S. Tubun, Brigjen Katamso, dan Kolonel Sugiono. Semuanya, baik yang jasadnya dibuang di Lubang Buaya atau tidak, dianugerahi gelar sebagai pahlwan revolusi untuk menghormati jasa dan pengorbanannya.

8.Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia mengajar di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali.Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah ke Mojokerto.Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School. Di tahun 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).Setelah lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.

Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya, Soekarno mulai aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge School  (sekarang berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil.Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari Indonesische Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club  merupakan cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927.Bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.

Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Karena jauhnya tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya.Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia hingga akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai memanfaatkan tokoh pergerakan Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik perhatian penduduk Indonesia terhadap propaganda Jepang.

Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang tetap melakukan gerakan perlawanan seperti Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan.Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia merdekan dan segala urusan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri dari delapan orang resmi dibentuk.Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi secara langsung dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman rumahnya di Jl Pegangsaan Timur 56, Jakarta.Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dikukuhkan oleh KNIP.

9.Mohammad Hatta  lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang asli dari Minangkabau. Sang ayah masih berada di garis keturunan ulama tarekat di Batuhampar (dekat Payakumbuh, Sumatera Barat). Sedangkan, sang ibu merupakan keturunan dari keluarga Pedagang di Bukittinggi.Sang ayah meninggal dunia saat usianya 7 bulan. Kemudian, ibunya menikah lagi dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang. Pernikahan mereka dikaruniai 4 orang anak perempuan.

Pria yang akrab disapa Bung Hatta ini pun mengenyam pendidikan pertama kali di Sekolah Dasar Melayu Fort de kock. Namun, kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS), Padang (Kini SMA Negeri 1 Padang) dan melanjutkan ke Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang hingga tahun 1919. Sedangkan, sekolah tingginya sendiri ia lanjutkan ke Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia.Selain menyerap segala ilmu pengetahuan di pendidikan formal, Hatta juga mempelajari ilmu-ilmu agama, berhubung keluarganya merupakan keluarga yang taat Agama. Ia pernah belajar bersama Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.

Kiprahnya di dunia politik diawali dengan masuknya ia ke organisasi Jong Sumatranen Bond region Padang dengan jabatan sebagai bendahara pada tahun 1916. Pengetahuanya di bidang politik pun bertambah pesat karena rajin menghadiri berbagai pertemuan.

Pada tahun 1921, Hatta hijrah ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Handels Hogeschool (sekarang namanya Universitas Erasmus Rotterdam). Ia bergabung dengan perkumpulan pelajar tanah air, Indische Vereeniging.Pada awalnya Indische Vereeniging hanyalah komunitas biasa. Tapi, segalanya berubah setelah pentolan Indische Partij, yaitu Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo bergabung ke dalam komunitas tersebut. Geliat politik pun semakin mencuat ke permukaan. Komunitas itu pun memiliki tujuan baru yaitu, mempersiapkan kemerdekan Indonesia. Namanya pun berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Pada tahun 1922, Hatta kembali menduduki posisi bendahara di Perhimpunan Indonesia dan 3 tahun kemudian ia terpilih sebagai ketua. Hatta juga sempat mengatur majalah Hindia Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka di tahun 1924.Di bawah kepemimpinan Hatta, Persatuan Indonesia mengalami banyak perubahan, mereka jauh lebih memperhatikan pergerakan di Indonesia melalui ulasan dan komentar yang rilis di media massa.

Mohammad Hatta juga pernah berpidato inagurasi denga judul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan". Dalam pidatonya, ia menganalisis struktur ekonomi dunia saat itu.Hatta juga pernah memimpin Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Prancis mewakili himpunannya pada tahun 1926. Sejak saat itu, nama Indonesia mulai dikenal oleh berbagai organisasi internasional.

Setahun kemudian, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Di sanalah ia bertemu dengan Jawaharhal Nehru, aktivis nasionalis asal India. Keaktifannya di beberapa organisasi tersebut membuat studinya molor hingga tahun 1932.Aktivitasnya ini pula yang membuat Hatta ditangkap Belanda bersama Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat. Namun, akhirnya dibebaskan setelah ia memberikan pidato pembelaan bertajuk Indonesie Vrij.

Pada tahun 1931, Hatta undur diri sebagai ketua Perhimpunan Indonesia karena ingin menyelesaikan studinya. Perhimpunan Indonesia pun jatuh ke tangan komunis dan berbalik menjadi mengecam Hatta sampai akhirnya Hatta dan rekannya Syahrir keluar dari partai.

Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1932, Hatta bergabung dengan Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk membuka mata masyarakat Indonesia tentang dunia politik dengan mengadakan berbagai pelatihan. Bisa dikatakan, himpunan ini merupakan tandingan dari Perhimpunan Indonesia.Pengasingan aktivis Soekarno ke Flores di tahun berikutnya, menuai kritik keras Hatta. Di berbagai media massa, ia mulai menulis artikel tentang pengasingan. Hal ini membuat Belanda memusatkan perhatiannya pada Club Pendidikan Nasional Indonesia serta menangkap Hatta dan Syahrir sebagai pentolan perhimpunan tersebut kemudian ikut diasingkan ke Digul, Papua.

Bung Hatta tetap menulis di berbagai surat kabar saat diasingkan baik surat kabar Jakarta maupun Medan. Selain itu, ia juga rajin membaca buku yang dibawanya dari Batavia lalu mengajarkan kepada teman-temannya di sana.Pada tahun 1937, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Sewaktu di Banda Neira, Ia bercocok tanam dan menulis di surat kabar Sin Tit Po dan Nationale Commantaren.Pada tahun 1942, pria bedarah Minang ini pun dipindahkan ke Sukabumi, selang sebulan kemudian Belanda menyerah kepada Jepang. Baru setelah itu, ia dibawa ke Jakarta.

Jakarta, Hatta bertemu dengan Mayor Jenderal Harada yang menawarkan kerja sama dengannya. Jika Hatta mau, Ia akan mendapat posisi penting. Namun, Hatta menolak dan memilih jadi penasehat dan berkantor di Pegangsaan Timur. Jepang berharap Hatta mampu memberikan nasehat yang menguntungkan bagi mereka. Namun, Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.Pada awal Agustus 1945, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) berganti nama menjad PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan Soekarno sebagai ketua dan Hatta sebagai wakilnya. Pelantikan tersebut dilaksanakan di Dalat Vietnam.Terjadi perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda sehingga terjadilah peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh para pemuda PETA di antaranya Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh untuk dibujuk segera memproklamasikan kemerdekaan karena saat itu sedang terjadi kevakuman pemerintah akibat Hiroshima-Nagasaki dibom oleh sekutu.

Soekarno berpendapat kalau lebih baik menunggu kemerdekaan yang katanya akan diberikan Jepang. Namun, golongan muda menyarankan segera mengikrarkan kemerdekaan secepat mungkin.etelah sepakat kalau proklamasi kemerdekaan harus dilaksanakan secepatnya, mereka pun menuju rumah Laksamana Maeda. Mereka merumuskan teks proklamasi kemerdekaan yang ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.

Tepat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi di kediaman Soekarno. Pada awalnya pembacaan teks proklamasi akan dilaksanakan di Lapangan IKADA (sekarang Monas). Namun, karena sudah tersiar kabar di tempat itu akan ada acara keesokan harinya, maka sudah ada tentara-tentara Jepang berjaga-jaga. Akhirnya, teks proklamasi dibacakan di kediaman Soeakrno.Keesokan harinya Hatta dalam usia 43 tahun resmi menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama mendampingi Presiden Soekarno.

10. W.R. Soepratman lahir Senin Wage, 19 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Pada tahun 1914, ia diasuh oleh kakak ipar W.M.Van Eldik (Sastromihardjo) di Mataram. Di sana ia belajar memetik gitar dan menggesek biola. Tahun 1919 W.R.Soepratman diangkat menjadi guru serta mendirikan Jazz Band, Black and White di Makasar dalam binaan W.M Van Eldik hingga 1924. Setelah itu ia ke Surabaya dan ke Bandung untuk menjadi wartawan Surat Kabar “Kaoem Moeda”.

Sebagai wartawan Surat kabar “Sin Po” W.R. Soepratman rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan Nasional di gedung Pertemuan Gang Kenari Jakarta dan mulai mencipta lagu Indonesia Raya di tahun 1928. Semula W.R. Soepratman  menciptakan lagu “Indonesia Raya” dengan judul “Indones, Indones, Merdeka, Merdeka” sehingga ia dikejar oleh Polisi Hindia Belanda.Kongres Pemuda-pemuda Indonesia ke II di Jakarta pada tanggal 27-28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda, mengakui lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Dalam kongres itu dinyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan gesekan biola W.R. Soepratman. Namun lagu tersebut tetap dilarang untuk dinyanyikan sampai tentara Jepang mengizinkan tahun 1944.

Tahun 1930-1937 ia berpindah-pindah tempat hingga di tahun 1937 ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit. 7 Agustus 1938 ketika sedang memimpin pandu-pandu KBI menyiarkan lagu, Matahari Terbit “ di NIROM” Jalan Embong Malang Surabaya ia ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok.17 Agustus 1938 (Rabu Wage) W.R. Soepratman meninggal dunia di Jalan Mangga 21 Surabaya tanpa istri dan anak karena memang belum menikah dan dimakamkan di kuburan umum Kapas Jalan Kenjeran Surabaya secara Islam.

Pesan Terakhir W.R.Soepratman “ Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ikhlas. Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan bolakoe, saja jakin Indonesia pasti Merdeka”

11. Ki Hajar Dewantara kemudian jadi nama di mana kita lebih mengenal pahlawan nasional satu ini.Saking hebatnya belia di dunia pendidikan, tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Sumbangsihnya bagi dunia pendidikan bahkan membuat sosok satu ini diberi gelar Bapak Pendidikan Indonesia.

Berikut biografi Ki Hajar Dewantara, salah satu maestro Indonesia di kancah pendidikan. Pendiri Taman Siswa Biografi Ki Hajar Dewantara, Maestro Pendidikan di IndonesiaUniversitas Taman Siswa Palembang (IDN Times/Feny Maulia Agustin).Membahas biografi Ki Hajar Dewantara tak lengkap kalau tidak membahas sedikit tentang Taman Siswa. Perguruan ini merupakan organisasi yang didirikan Ki Hajar Dewantara untuk memastikan seluruh anak pribumi kala itu bisa mendapatkan hak pendidikan yang setara dengan kaum priyayi atau masyarakat Belanda di Indonesia.

Ada tiga semboyan Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yakni Ing Ngarso Sung Tulodho yang artinya di depan memberikan contoh. Ing Madya Mangun Karso, yang artinya di tengah memberikan semangat. Tut Wuri Handayani, yang artinya di belakang memberikan dorongan.Bahkan semboyan Tut Wuri Handayani kini menjadi slogan dari Kementerian Pendidikan hingga saat ini.

Komentar

Postingan Populer